Home / Berita / TAP MPR Dicabut, Perihal Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Mengemuka Lagi

TAP MPR Dicabut, Perihal Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Mengemuka Lagi

Ketua DPR/MPR Harmoko bareng  Presiden Soeharto sesaat sebelum menyatakan berhenti selaku  Presiden di Istana Merdeka, 21 Mei 1998
Foto: Soeharto (kiri) (Agus Lolong / AP Photo)

Wacana tunjangan gelar satria nasional bagi Soeharto kembali mencuat. Isu itu mengemuka seiring dicabutnya Tap MPR yang menyebut Presiden ke-2 Indonesia itu terlibat dalam praktik korupsi.

Dirangkum , Sabtu (28/9/2024), MPR RI mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (Tap) MPR Nomor 11 Tahun 1998 mengenai perintah untuk menyelenggarakan yang higienis tanpa korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Keputusan itu diambil dalam rapat paripurna sidang simpulan MPR RI periode 2024-2029.

“Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998 tersebut secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan sudah selesai dilaksanakan alasannya yakni yang bersangkutan sudah meninggal dunia,” kata Bamsoet dalam rapat paripurna di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (25/9).

Nama ‘Soeharto’ tertera dalam Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 itu (kini dicabut). Begini suara Pasal 4 di Tap MPR tersebut yang menampung nama Soeharto.

Baca juga: Hashim Ungkap Makan Bergizi Gratis Digagas Prabowo Sejak 18 Tahun Lalu

“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme mesti dijalankan secara tegas terhadap siapa saja juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, tergolong mantan Presiden Soeharto, dengan tetap memperhatikan prinsip prasangka tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.”

Nama Soeharto Dicabut dari TAP MPR XI/1998

Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyerahkan surat akhir pimpinan MPR atas anjuran Fraksi Golkar mengenai Pasal 4 TAP XI/MPR/1998 yang menyebut nama Presiden ke-2 RI Soeharto mudah-mudahan dinyatakan sudah dilaksanakan. Perwakilan keluarga Soeharto, Siti Hediati Hariyadi (Titiek Soeharto) dan Siti Hardijanti Rukmana (Tutut Soeharto), serta Menkumham Supratman Andi Agtas turut hadir dalam program tersebut.

“Kami pimpinan MPR akan menyerahkan suatu dokumen terhadap perwakilan keluarga besar mantan Presiden Soeharto selaku bentuk pelaksanaan kiprah konstitusional kami untuk merespons dan menindaklanjuti surat dari Fraksi Partai Golkar Nomor 2 Tahun 2024 yang diajukan terhadap kami pimpinan MPR,” kata Bamsoet di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara V MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Sabtu (28/9).

Bamsoet menyampaikan surat akhir atas anjuran Fraksi Golkar pada pada dasarnya menerangkan mengenai posisi aturan kedudukan Soeharto yang sudah dilaksanakan. Bamsoet menyampaikan pimpinan MPR menyepakati Pasal 4 TAP/XI/MPR/1998 yang menyebut nama Soeharto sudah dilaksanakan, tanpa mencabut ketetapan tersebut.

“Pada prinsipnya Fraksi Partai Golkar MPR menyodorkan bahwa Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 mengenai negara-negara yang higienis dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, utamanya Pasal IV, secara eksplisit yang menyebut nama mantan Presiden Soeharto mudah-mudahan dinyatakan sudah dilaksanakan tanpa mencabut ketetapan itu,” ujarnya.

Baca juga: 3 Tap MPR Soal Presiden RI yang Dicabut: Sukarno, Soeharto, Gus Dur

Bamsoet menyampaikan undang-undang pelaksana dari TAP XI/MPR/1998 yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam Pasal 34, terdakwa meninggal dunia pada di saat dijalankan investigasi disidang pengadilan, sedangkan secara faktual sudah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut lazim secepatnya menyerahkan salinan berkas isu program sidang tersebut terhadap jaksa pengacara negara atau diserahkan terhadap instansi yang dirugikan untuk dijalankan somasi perdata terhadap piawai warisnya.

Bamsoet mengatakan, menurut serangkaian fakta aturan yang mengemuka, maka bermuara pada kepastian aturan bagi Soeharto. Di antaranya terbitnya surat ketetapan perintah penghentian penuntutan atau SKP3 pada 2006 oleh Kejaksaan Agung, sesuai dengan ketentuan Pasal 140 Ayat 1 kitab undang-undang hukum pidana dan terbitnya Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt2015.

“Serta dengan sudah kepulangannya ia mantan Presiden Soeharto pada tanggal 27 Januari 2008. Makara sudah dilaksanakan, dendam apa lagi mesti kita pertahankan, lepaskan. Kita yakni bukan bangsa pendendam,” terang Bamsoet.

Baca juga: Eks Penyidik Desak Dewas KPK Gerak Cepat Tangani Laporan soal Alex Marwata

“Dengan memikirkan banyak sekali fakta aturan di atas, maka kami bersepakat terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998, secara diri eksklusif Bapak Haji Muhammad Soeharto dinyatakan sudah selesai dilaksanakan,” sambungnya.

Usulan Soeharto Makara Pahlawan Nasional

Bamsoet menyampaikan Soeharto telah menorehkan banyak jasa dan dedikasi untuk Indonesia. Bamsoet menganggap tidak ada yang salah jikalau Soeharto diberi gelar Pahlawan Nasional.

“Beliau sudah berupaya mengabdikan diri sebaik mungkin dalam mengerjakan kiprah selaku presiden dan berjasa besar dalam mengirimkan bangsa Indonesia beranjak dari negara miskin menjadi negara berkembang,” kata Bamsoet.

“Sekali lagi, menenteng Indonesia dari negara miskin menjadi negara berkembang,” sambungnya.

Menurutnya, dengan pertimbangan jasa dan pengabdian, Soeharto selayaknya diberi gelar Pahlawan Nasional. Terlebih, kata dia, Soeharto sudah memimpin Indonesia lebih dari tiga dekade.

Baca juga: Tutut-Titiek Soeharto: Mohon Maaf Kalau Selama Ini Bapak Ada Kesalahan

Selain itu, Bamsoet menyampaikan Pasal 4 Ketetapan MPR 11 Tahun 1998 sudah dilaksanakan keutuhannya. Dia pun menyatakan tidak ada yang salah dengan tunjangan gelar tersebut.

“Rasanya tidak berlebihan sekiranya mantan Presiden Soeharto diperhitungkan oleh pemerintah yang mau tiba dan oleh pemerintah mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional, selaras dengan mendapat martabat kemanusiaan dengan peraturan perundangan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Bamsoet pun meminta mudah-mudahan semangat rekonsiliasi tetap dijaga dan diwariskan. Bamsoet juga berharap mudah-mudahan dendam masa kemudian tidak diteruskan kembali.

“Mari kita bareng selaku suatu keluarga bangsa mengambil hikmah atas banyak sekali insiden yang terjadi di masa lampau, untuk kita jadikan pelajaran bermanfaat bagi pembangunan aksara nasional bangsa Indonesia di masa kini dan di masa yang mau datang,” jelasnya.

Baca juga: 6 Fakta Terkini soal Alex Marwata KPK Bertemu Pihak Beperkara

“Jangan ada lagi dendam sejarah yang diwariskan pada belum dewasa bangsa yang tidak pernah tahu terlebih terlibat pada banyak sekali insiden kelam di masa lalu,” imbuh dia.

Tagged:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *